Gus Dur - Joko Tingkir dalam Tembang Sigra Milir

Di dunia ini, tidak ada jabatan yang pantas diperjuangkan secara mati-matian. Hal ini dilakukan Gus Dur ketika beliau dilengserkan dari kursi kepresidenan. Beliau difitnah terlibat kasus Buloggate dan Bruneigate. Namun Gus Dur tidak terbukti melanggar hukum. Karena dilengserkan dengan hukum tidak bisa, maka Gus Dur pun dilengserkan secara politis yaitu dengan cara Megawati bersama  MPR (diketuai Amin Rais) melakukan sidang istimewa.

Gus Dur lebih memilih mundur daripada ada pertumpahan darah karena perang Saudara. Meskipun banyak orang Jawa Timur yang siap perang ke Jakarta untuk membela Gus Dur. Namun Gus Dur mencegahnya. Gus Dur lebih memilih mundur daripada ada pertumpahan darah karena perang Saudara. Yang dilakukan Gus Dur memang mirip dengan apa yang dilakukan Joko Tingkir. 

SIGRA MILIR 
(Megatruh)
Sigra milir sang gèthèk sinangga bajul
Kawan dasa kang njagèni
ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kéring
Kang gèthèk lampahnya alon

Tembang  sigra milir menceritakan Joko Tingkir  (Sultan Hadiwijaya) putra Ki Ageng Pengging (Boyolali) atau Ki Kebo Kenanga. Joko Tingkir adalah seorang wali yang menjadi raja Pajang (Surakarta) kemudian diberontaki  oleh Danang Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya ). Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja baru (Mataram) oleh karena menang dalam perang tanding.  Kemudian bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah ing Tanah Jawi. 

40 Kanuragan / Kesaktian
Joko Tingkir pulang ke Pajang  naik perahu dari Sumenep masuk Bengawan Solo, mampir ke Pringgoboyo , Maduran Kab. Lamongan. Kemudian mengisi air untuk perbekalan, dan tidur. Kemudian dia bermimpi bertemu Gurunya.

Dalam mimpinya Sang Guru dawuh kepada Joko Tingkir  :
“Mengapa menoleh ? kanuragan 40 kok kembali lagi ? apa kamu ingin kembali ke Pajang untuk berebut Keraton lagi ? Kamu tidak akan menang. Buatlah pondok, mengajar orang sini biar pintar dan pada akhirnya membela dirimu.” Dan Sultan Hadiwijaya pun mengikuti perintah Gurunya tersebut, membuat pondok di Pringgoboyo dan berubah namanya menjadi Joko Tingkir.

Sigra milir sang gèthèk sinangga bajul
Kawan dasa kang njagèni

Gethek yang disangga buaya sebanyak 40 ekor. Jika Joko Tingkir melompat dari gethek ke air, maka akan dikeroyok 40 ekor buaya.  Artinya jika Joko Tingkir kembali ke Pajang untuk berebut kekuasaan maka akan kalah oleh Sutawijaya. Kesaktian bukan untuk geger peperangan. Jabatan tidaklah penting. Kedudukan tidak ada artinya sebagai lembaga dibandingkan dengan budaya. Budaya Joko Tingkir adalah budaya kyai yaitu mengajar ilmu di pondok.   

Kedudukan / kekuasaan duniawi  tidak pantas diperjuangkan secara mati –matian, kesaktian / kanuragan bukan untuk geger perang. Memelihara nyawa (Hifdz al Nafs), harus diutamakan. 
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak